Minggu lalu saya berdialog dengan teman-teman pemuda Ahmadiyah Garut. Bulan lalu salah satu masjid milik komunitas Ahmadiyah di Nyalindung, Garut ditutup paksa oleh Bupati Rudy Gunawan. Pertemuan kali ini bertujuan untuk melihat apa yang dilakukan oleh teman-teman muda untuk membuat perubahan dan dampak.

Sebagai awal saya meminta para peserta untuk memperkenalkan diri dan memberi respon atau kesan dari peristiwa penutupan masjid. Saya juga meminta mereka tidak sekedar setuju atau mengulang pendapat peserta lain, namun masing-masing harus mampu memberikan sesuatu yang baru. Dari perkenalan ini saya membuat “peta kata” sebagai berikut:

  1. Intoleransi/Diskriminasi
  2. Ketakutan/Trauma
  3. Ketikadilan
  4. Aparat Negara
  5. Mobilisasi Warga

Satu orang menceritakan bahwa peristiwa intoleransi tersebut membuat trauma pada dirinya. Dia merasa banyak hal mampu dia lakukan, dan mungkin seharusnya dilakukan. Dia siap menanggung resiko atas tindakan atau reaksinya. Namun yang menjadi momok adalah bagaimana anak-anaknya juga harus menanggung resiko yang ia hadapi. Ia tidak tega melihat anaknya menderita dan memilih untuk menyerah dengan situasi.

Saya berhenti sejenak. Sudah agak lama saya tidak mendapatkan respon yang sangat personal. Saya rasa ini berkaitan dengan peristiwa yang masih relatif baru. Fresh. Alih alih menawarkan perspektif konstitusional mengenai hak beragama atau perspektif kemandirian pemulihan komunitas, saya mencoba mengajak forum untuk melihat peristiwa ini dengan kacamata lain: Bencana.

Kabupaten Garut yang berada di lembah gunung Cikuray dan beberapa gunung atau bukit kecil memiliki ingatan yang kuat akan bencana alam: gempa bumi, longsor dan ancaman laten letusan gunung berapi. Bencana alam adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh penduduk Garut. Menolak bencana alam, atau menyerah artinya memutuskan untuk keluar dari Garut. Namun mereka yang tinggal di Garut adalah survivor, mereka yang bertahan dan beradaptasi dengan bencana.

Artinya para anggota forum mengerti benar - walau dalam alam bawah sadar - bahwa resiko bencana adalah fakta yang tidak bisa dihilangkan. Maka fokus mitigasi bencana adalah pada mengurangi resiko, bukan menghilangkan resiko 100%. Dan Mitigasi yang baik ada pada pencegahan bukan menunggu bencana dan melakukan respon darurat.

Mitigasi Bencana

Diskusi berikutnya masuk pada apa yang penting dalam mitigasi bencana? Tiga hal: sosialisasi, pencegahan dan mobiliasi resource.

Sosialisasi menjadi tonggak dalam mitigasi bencana, karena kesadaran warga akan bencana adalah kunci dari perubahan. Warga harus disadarkan apa itu bencana alam, bagaimana gempa bumi terjadi, bagaimana gempa bumi meningkatkan resiko tanah longsor, apa saja faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan resiko tanah longsor.

Dari Sosialiasi dan kesadaran warga ini barulah dapat dilakukan pencegahan yang efektif. Pemerintah dapat melakukan kerja-kerja infrastruktir seperti membangun benteng jalan, merestorasi tebing-tebing yang berbahaya. Namun warga juga punya peran penting: menjaga pohon-pohon tidak ditebang, membangun rumah tahan gempa, mengingatkan warga lain yang tinggal di tanah beresiko tinggi.

Sosialisasi yang baik, tidak hanya membangun kesadaran dan proses pencegahan ia juga berdampak untuk mempermudah mobilisasi resource. Resource bisa berupa uang, orang, waktu dan kebijakan organisasi untuk mendukung upaya-upaya mitigasi.

Tentu lebih mudah dan rasional berbicara mengenai gempa bumi, tanah longsor yang dihubungkan dengan gunung berapi kepada warga Garut daripada kepada warga Banjarmasin yang tidak memiliki gunung berapi. Kedekatan resiko, urgensi, visual. Proses ini akan mempermudah bagi komunitas untuk mengalihkan sumber daya mereka.

Kesadaran Mitigasi Bencana ini dapat diterima, bahwa tidak mungkin untuk lari dari resiko, yang bisa kita lakukan adalah upaya-upaya untuk mengurangi resiko. Tentu dengan langkah terukur dibarengi peningkatan kapasitas.

Tentu ada beberapa perbedaan dalam Mitigasi Bencana Alam dan Bencana Sosial. Dalam Bencana Alam ada faktor eksternal yang tidak dapat dirubah, misal gunung berapi sementara dalam Bencana Sosial segala sesuatu banyak berubah. Namun dengan perimbangan kuasa yang sangat timpang maka penyederhanaan ini bisa dipakai sementara: ada faktor-faktor yang dapat dijangkau: sosialiasi, peningkatan kapasitas, pemetaan masalah, mobilisasi resource, evaluasi. Dan ada faktor-faktor yang nyaris tidak dapat diubah dalam waktu singkat: strukur dan kebijakan negara, budaya masyarakat. Dan hal-hal diantaranya yang dapat dipengaruhi untuk kita ubah.

Mitigasi Bencana Sosial

Saya percaya pendekatan Mitigasi Bencana Sosial akan lebih mudah diterima pada komunitas-komunitas yang hidup dengan alam dan daerah yang memiliki resiko bencana secara kontinyu. Masyarakat di pedesaan umumnya telah menginternalisasi mitigasi bencana ini dalam budaya. Bentuk dan bahan rumah, sistem ronda, kentongan, lumbung dan ingat: gotong royong. Melihat resiko kerawanan sosial sebagai sebuah ancaman bencana baru akan lebih mudah diterima dan mulai bergerak untuk melakukan pencegahan dan pemulihan.