10 tahun lalu paska peristiwa Ahmadiyah Cikeusik, situasi di komunitas-komunitas Ahmadiyah Jabar menghangat. Aparat negara woro-wiri ke rumah-rumah warga Ahmadiyah. Mendata. Menanya siapa pengurus dan daftar anggota. Ini soal sensitif bagi kelompok yang rentan macam Ahmadiyah. Daftar anggota bisa digunakan sebagai tindakan represif berikutnya.

Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah bau keterlibatan TNI dalam giat ini.

Laporan-laporan dari berbagai titik memperlihatkan ini gerakan yang sistematis dan masif. Pasti bukan level Bupati atau Walikota. Saya lalu mendorong agar daerah-daerah yang belum melaporkan insiden dicek. Semakin banyak daerah melaporkan hal yang sama. Kunjungan aparat negara didampingi oleh anggota TNI. Mereka mengkonfirmasi apakah warga yang didatangi anggota Ahmadiyah, meminta daftar pengurus dan anggota lain.

Ini soal serius. Daftar anggota dan kombinasi TNI jelas-jelas men-trigger alarm keamanan komunitas. Warga Ahmadiyah di Jabar diminta waspada dan meminimalisasi informasi yang diberikan kepada TNI. Tentu menolak memberikan apapun, pilihan yang agak sulit untuk dikoordinasikan.

Puncaknya adalah rombongan aparat negara, yang ditemani oleh anggota TNI berseragam merangsek masuk masjid. Mereka mengambil alih sholat jumat, salah satunya di Masjid Ahmadiyah di Cianjur.

Rombongan ini sudah siap dengan Khatib, Imam dan mungkin SAJADAH! saya rasa dari sini nama operasi GELAR SAJADAH diambil. Target utamanya adalah menundukkan komunitas Ahmadiyah baik dengan intimidasi hingga penguasaan fisik.

Operasi Sajadah atau Gelar Sajadah adalah operasi yang dilakukan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan bersama Pangdam Siliwangi, Moeldoko. Saya duga ini giat bersama dengan payung forkominda Jabar. Ide macam ini jelas bukan buah pikiran Akhmad Heryawan. Gerakan cepat, luas dan dengan target yang jelas.

Karenanya masyarakat sipil segera menembakkan peluru kepada Pangdam Siliwangi Meoldoko dengan tuduhan telah melanggar dinding pembatas,ikut campur dalam urusan sipil terlampau jauh.

Model pendudukan, atau “hostile take over” masjid ini sudah keterlaluan. Vulgar.

Moeldoko jelas mengelak, dia menolak bahwa tujuan dari operasi ini buruk, namun juga tidak membantah adanya pergerakan anggota TNI di lapangan. Akhmad Heryawan juga tidak berkomentar banyak soal operasi ini. Telanjangnya keterlibatan TNI dalam kasus ini sebenarnya menguntungkan, operasi ini segera dihentikan. End of Story? tentu tidak, gerakan-gerakan anti Ahmadiyah tetap berjalan menggunakan orang-orang sipil atau kelompok para militer. Lampu merah ke lampu kuning. Namun saya tidak akan lupa.

Karir Moeldoko terus melesat menjadi Panglima TNI dua tahun berikutnya di bawah Presiden SBY. Keterlibatan pada operasi atau gelar sajadah ini hanya jadi noda kecil dalam fit and profit test di DPR. Minum kopi bareng memang lebih asyik ketimbang membaca konstitusi.

Presiden berganti, Moeldoko setelah pensiun memang beberapa kali masuk bursa. Macam menjadi kandidat Wakil Presiden. Namun kiprahnya di jagat perpolitikan kalah viral dengan bang Gatot Nur yang membuat headline macam sinetron striping setelah pensiun.

Tiga tahun kemudian Moeldoko justru mendarat di kursi Kepala Staf Kepresidenan, ini jabatan “non formal” yang nampaknya akan lebih penting dari Wakil Presiden atau Menteri dalam politik Indonesia yang banyak mengandalkan lobby lobby warung kopi.

Setelah 3 tahun di KSP, Moeldoko meluncurkan kartu-kartu politik. Kali ini bukan “hostile take over” masjid Ahmadiyah, namun sebuah partai menengah, Partai Demokrat. Operasi ini sudah berjalan dan tercium media sejak awal tahun, rumor-rumor yang bergerak kanan kiri memperlihatkan gerakan ini ada, sistematis dan berduit.

Bli Made Supriatma sudah mengingatkan bahwa rumor “kudeta” ini baru awal dari perjalanan panjang yang sudah disiapkan.

Dalam operasi sajadah, mustahil Gubernur Jawa Barat tidak tahu. Juga mustahil Presiden Jokowi enggak tahu orang-orang kepercayaannya mainan apa. Inget ya ini KSP, bukan pos kampling.

Terimakasih pak Moeldoko sudah membuat minat saya pada politik negara bersemangat lagi.

Referensi