Ada perkembangan baru pada kelompok agama yang tertindas di Indonesia, yaitu semangat untuk mengambil kembali hak-hak mereka untuk beribadah. Dalam satu tahun ke belakang proses ini dilakukan di 3 lokasi: Ahmadiyah Ciamis, Pantekosta di Gunung Kidul dan Ahmadiyah di Depok.

Ketika komunitas tersebut melakukan upaya agar rumah ibadah yang ditutup dapat digunakan kembali, tentu ini bukan berita baru, lalu apa yang baru?

Pertama adalah kelompok korban tidak lagi mengharapkan pemulihan hak oleh negara. Paradigma bahwa negara harus kuat, penegakan hukum yang tegas akan menghasilkan situasi yang baik bagi kelompok agama kecil, tak lagi mempan. Bertahun-tahun kita berjuang agar Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Polisi diperkuat. Kebijakan dirubah agar mereka punya ruang gerak, mentalitas pejabat/aparat/komunisoner diperbaiki. Kalau perlu mereka diberi bantuan finansial agar berdaya. Nyatanya ketiga instutusi ini nampak tak bertaji.

Kedua adalah perubahan relasi antara korban dan pendamping. Para pendamping yang umumnya berasal dari LSM berbasis isu hukum atau HAM pada awalnya punya beban dalam inisiatif dan pengawalan proses. Korban lebih sering terseok-seok mengikuti proses dan logika yang berjalan. Dalam teori reclaim ini, korbanlah yang memiliki inisiatif dan mengkoordinir proses pendampingan yang dilakukan oleh kawan-kawan pembela HAM.

Ketika adalah strategi komunikasi. Proses reclaim bersifat lebih terbuka dalam proses terhadap masyarakat sekitar dan aparat pemerintah daerah, namun tidak ekstensif menggunakan media masa. Dalam proses pembukaan Masjid Ahmadiyah di Ciamis misalnya, paska pembukaan maka jemaah Ahmadiyah langsung melakukan laporan ke Polisi untuk memberitahu proses pembukaan tutup dan meminta jaminan keamanan. Proses ini berbeda dengan strategi beberapa masjid yang menggunakan secara diam-diam melalui pintu belakang.

Namun dalam proses ini justru tidak secara ekstensif memanfaatkan media massa. Dalam relcaim di Ciamis hanya bebeapa media terlibat, sementara di Gunung Kidul hampir tidak ada media yang menulis penggunaan gereja untuk ibadah Natal oleh jemaah Pantekosta.

Strategi komunikasi ini diambil agar para anggota komunitas memiliki waktu yang cukup untuk menggalag dukungan dari masyarakat sekitar, sehingga dapat dibuat layer penyangga yang kuat.

Melipat ganda

Bagaimanakah mempercepat proses reclaim hak ini dapat terjadi di lebih banyak wilayah? Saya rasa ada beberapa hal yang perlu dikerjakan bersama.

Pertama adalah membangun kesadaran yang jernih pada kelompok korban. Bahwa mereka adalah warga negara yang memiliki hak konsitusional yang sama dengan masyarakat lain. Bahwa tindakan negara dalam pembiaran atau penutupan rumah ibadah, tidaklah sah secara konstitusinal, meski kadang menggunakan peraturan/kebijakan yang legal. Pemahaman ini penting agar pemimpin, umat dan organisasi tidak gamang karena merasa melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pembangkangan terhadap beberapa peraturan.

Kedua adalah kesadaran korban dan komunitas sebagai pusat dari gerakan. Mereka harus memiliki kesadaran bahwa dari semua pilihan yang tersedia, komunitaslah yang memiliki keputusan akhir serta menerima manfaat dan resikonya. Pihak-pihak lain: pembela ham, jurnalis, aparat negara, peraturan haruslah dipandang sebagai tools yang dapat dipilih untuk digunakan.

Saya menggambarkan para mitra itu: pembela ham, media massa, lembaga negara semacam supermarket dimana komunitas bisa berbelanja kebutuhan advokasi. Dengan waktu dan uang yang terbatas komunitas harus dengan cermat memilih tool apa yang akan diambil dan digunakan. Kadan kala barang yang diinginkan tidak tersedia, namun kita harus dengan cerdas memilih subtitusi dengan satu atau lebih tools yang lain. Ketika dihadapkan pada pilihan barang para korban seringkali berubah menjadi: shopaholic.

Ketiga tentu membangun jaringan mitra-mitra di berbagai daerah yang bersedia melakukan pendampingan terhadap proses, dengan rendah hati. Kerendahan hati amat penting agar tidak terjadi kepentingan korban justru dikalahkan oleh kepentingan pribadi atau organisasi dari pendamping, yang seringkali sama baiknya.

Jakarta, 16 Januari 2015