Apakah kesadaran. Sesuatu yang kita sadari bahwa kita tidak menyadari bagaimana dunia ini berjalan. Bagaimana tubuh ini bekerja. Dan kemudian saya berani berpikir bisa merubah bagaiamana tubuh saya merespon sesuatu.

Ada banyak perdebatan yang terjadi beberapa hari ini. Sesuatu yang detik demi detik merubah kesadaran saya memandang dunia dan nyawa manusia.

Kita mulai dengan Charlie, ya Charlie Hebdo. Lima belas nyawa, sekurangnya, meregang bagi ide yang mereka percaya. Para komikus percaya satire akan membawa pencerahan manusia, setidaknya manusia di Prancis.

Para wartawan, atau komikus percaya pena mereka akan merubah masyarakat memandang negara, pemimpin agama, gereja. Sesuatu yang sakral, ingin mereka lawan.

Satire adalah anarki, ia mencoba menggoyang apa saja yang berkuasa, mapan dan absolute. Dan anarki bukanlah penghancuran tatanan dan keteraturan, namun percaya manusia, dengan kesadaran yang tepat, tidak lagi membutuhkan otoritas, perintah dan hukuman untuk bergerak dengan tepat.

Ketika tiga juta warga Prancis, diboncengi kerumpunan selfie pemimpin dunia berparade, saya bayangkan para komikus di dunia sana sedang menggambar bumi dengan tertawa. Bahwa masyarakat tak butuh negara dan pemimpin agama untuk bergerak.

Dua pelaku penyerangan di kantor Charlie yakin serangan dan pembunuhan bukan dendam pribadi pada kantor sialan. Peluru-perluru itu luntah bagi ide yang mereka percaya. Sebuah keteraturan tunggal dan harmonis.

Bagi mereka sebuah tatanan yang benar adalah masyarakat yang satu. Masyarakat yang percaya pada satu agama, terpimpin oleh satu komando dan hidup dalam satu budaya. Bagia ide utopia setinggi itu, sebuah serangan yang berakhir jadi bunuh diri adalah harga yang wajar.

Orang-orang ini meregang nyawa untuk yang mereka percaya. Bukan kematian yang buruk saya pikir. Dalam hembusan terakhir nafas, mereka mengumam “saya tidak mati sia-sia”

Tapi adakah pembunuhan yang tidak sia-sia?

Empat pemuda di Paniai, Papua meninggal ditembak pasukan Indonesia. Dalam waktu hampir sama dua ratus orang diculik, dibunuh dan mati dalam ketakutan di Nigeria. Pelakunya sama, mereka-mereka yang punya kepercayaan absolut pada kebenaran. Namun mungkin kali ini korbannya tidak sempat berpikir “saya tidak mati sia-sia”.

Apakah yang membuat lima belas (atau dua belas) nyawa lebih bernilai dan sanggup menggerakan tiga juta orang, lalu empat atau dua ratus nyawa lain kurang berharga?

Hukuman Mati

Eksekusi hukuman mati baru dilangsungkan pada penjahat berat: pengedar narkoba. Kematian enam orang narapidana itu dianggap setimpal, bukan atas berapa nyawa yang mereka buat merenggang di IGD (dan di sofa) tapi karena nyawa enam orang itu akan selamatkan lebih banyak manusia dari over dosis.

Perdebatan hukuman mati lebih sering dilandaskan pada moralitas soal nyawa yang (masih) hidup. Satu sisi moral menyebutkan hukuman mati akan mencegah calon pelaku berbuat hal sama: menjual narkoba. Itu selamatkan banyak manusia dari kematian sia-sia.

Moralitas lain bicara negara bukan tuhan yang berhak mencabut nyawa hidup. Penghapusan hukuman mati akan berakibat ada enam nyawa yang “terselamatkan”.

Namun lima atau sepuluh tahun dari sekarang tidak akan ada orang yang menghitung. Berapa banyak nyawa yang benar-benar terselamatkan dari hukuman mati itu, atau berapa nyawa justru merenggang karenanya. Masyarakat yang sama tidak ambil pusing atas empat dan dua ratus nyawa lain di Paniai dan Nigeria.

Semua pembunuhan, oleh tentara, regu tembak hingga kombatan  bukan untuk mencegah kematian yang lain. Bukan pula untuk balas dendam. Pembunuhan itu terjadi untuk memuaskan hasrat kita pada kebenaran.

Demi dunia yang “lebih baik” itulah pembunuhan-pembuhan itu dilakukan dan dimaklumkan. Kematian tidak pernah berharga. Kehidupanlah yang berharga.

Kita harus sadar makam pahlawan dibangun megah bukan untuk menghormati mereka yang mati. Tapi membenarkan mereka yang hidup, menang dan berkuasa. Kematian “pahlawan” adalah pembenaran pada laku dan moralitas yang hidup.

Jakarta, 22 Jan 2015