Ada dua hal yang menggelitik dalam satu minggu ini. Pertama soal ribut-ribut Charlie Hebdo yang terjadi nun jauh di Paris. Kedua adalah pemilihan Kapolri yang tersangkut kasus #ibuBudi. Keduanya buat saya menarik, ia menakar sejauh mana manusia tidak bisa ditakar.

Charlie Hebdo bukan media yang pertama kali menjadikan pemimpin agama sebagai bahan olok-olok, khususnya agama Islam. Peristiwa minggu lalu di Paris juga bukan aksi pertama kalinya kelompok teroris islamis melakukan pembunuhan pada wartawan. ISIS berulang-kali bahkan melakukan eksekusi dengan rencana drama yang diunggah di Youtube. Tapi penembakan Hebdo menghasilkan perdebatan yang intens dan reaksi yang agresif dari banyak pihak.

Mengapa pembunuhan eksekusi ISIS pada wartawan di youtube tidak menimbulkan protes rakasasa? Kenapa pula ratusan anak murid dibunuh di Pakistan dan Nigeria juga “mute”? Dari sisi kekejaman, jumlah korban jelas kedua kasus ini “lebih layak” untuk jadi Headline dari pada peristiwa Charlie Hebdo. Mengapa?

Satu minggu kemudian di Jakarta muncul kegaduhan yang berbeda. Presiden Jokowi, yang dipilih rakyat, tiba-tiba melakukan blunder dengan mengusulan Budi Gunawan jadi Kapolri. Pasalnya Budi telah ditinta merah oleh KPK jauh-jauh hari. Tempo, salah satu media waras di Indonesia juga pernah kulik dugaan korupsi.

Tiba-tiba KPK menetapkan Budi sebagai tersangka. Kali ini kaum politisi dan konco pengamat yang terbelah. Ada yang mendukung Budi tetap jadi Kapolri terutama para politis di DPR, baik pendukung maupun oposan pemerintah. Sementara suara NGO, media dan rakyat umumnya seragam: Kapolri enggak bisa dong dipilih kok malah pesakitan. Sontak ini bikin ribut dunia pemberitaan.

Kedua hal diatas nampak berbeda. Ada benang merah, manusia ribut ketika mereka diuji pada pilihan yang abu-abu. Dalam kasus penembakan murid di Pakistan dan Nigeria pandangan umum tentu mengutuk dan tidak dapat membernarkan peristiwa itu.

Dalam isu #Hebdo ada banyak orang yang ragu hendak mendukung Charlie Hebdo dan Kebebasan Berbicara atau memilih Islam dan Perdamaian. Seolah-olah ada tensi antara membela agama dan kebebasan pers. Debat menarik diikuti banyak kalangan, namun tetap tidak bisa menjawab dengan memuaskan dimanakah garis antara kebebasan pers dengan penghinaan? Apakah satire bagian dari hate speech? Mengapa Charlie Hebdo bisa leluasa lakukan satire pada Islam tetapi tidak pada Yahudi?

Begitu juga pada kasus ibuBudi. Mengapa Jokowi dengan gegabah pilih Kapolri yang punya catatan merah, mengapa enggak pilih Jenderal lain? Dan mengapa pula DPR yang umumnya enggak sepakat dalam semua keputusan tiba-tiba melulusan calon Kapolri bermasalah.

Kedua menusuk rasa keadilan kta, tapijuga sulit untuk dilihat hitam-putih. Dan begitulah dunia derita tiada akhhirnya.