Demonstrasi 4 November 2016 adalah sebuah fenomena, inilah saat demonstrasi paska 1998 yang mampu mengimbangi demo buruh jadebotabek. Untuk itu menarik melihat bagaimana media memberitakan “411” dan beberapa opini penting terkait.

  1. Tulisan terbaik saya rasa pada Tirto.ID yang membuat reportase mendalam tanpa terburu-buru. Dalam industri media saat ini di Indonesia (baca: Jakarta) terlambat adalah sebuah privillage. Salah satu tulisan Tirto berusaha menelusuri siapa kah kelompok yang memulai kekerasan, dan dalam penelusurannya kelompok ini sudah mulai bersikap agitasi sejak sore hari, bukan hanya di malam hari. Silahkan baca seri lain untuk lebih lengkap.

  2. Tulisan kedua dari Islam Bergerak yang menyanggah persepsi: bahwa gerakan islam politik gak relevan. Editorial ini menegaskan bahwa entitas Islam Politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa diabaikan. Pengabaian hanya akan mendorong entitas ini dibajak oleh gerakan-gerakan lain yang tidak mengakar (radikal). Super!

  3. Hampir senada namun dengan perspektif berbeda Yudi Latif melihat ini dari kacamatama politik yang lebih luas, bahwa gerakan “411” adalah akibat adanya ketegangan dan kecemasan rakyat melihat hak-hak mereka dikebiri oleh elit negara. Ahok yang china, kaya, over confident adalah personifikasi sempurna momok rakyat yang termarjinalkan ini. Tulisan asli Yudi Latif di Kompas bisa dibaca disini

  4. Keluar dari narasi politik, tulisan Desideria di Qureta mengangkat soal manajemen keamanan buat Presiden sebagai salah satu alasan Jokowi ogah di Istana dan menemui demonstran. Sa jadi ingat demonstrasi saat sidang kabinet 1966 yang dikepung demonstran menyebabkan Presiden Soekarno kabur ke Istana Bogor. Lalu terjadilah Supersemar dan selanjutnya.

  5. Apalah arti politik tanpa humor? nah bacalah surat terbuka dari Medan sebagai bentuk mengembalikan kewarasan kita.

  6. Terakhir adalah opini singkat dari Buya Maarif di Indonesia Lawyer Club yang menjernihkan permasalahan. You rock Buya!

http://youtu.be/gPXSkLtAL5Y?t=6m53s