Dalam tafsir tradisional islam, pernikahan antar agama diperbolehkan dengan kondisi khusus. Yaitu kaum pria muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan ahli kitab. Saya tidak akan memperpanjang siapakah yang disebut ahli kitab, saya lebih tertarik mengambil fokus lain.

Katakan saya berada dalam posisi penguasa yang mempunyai wewenang untuk mempengaruhi atau menjalankan peraturan, seperti Undang-Undang. Dan saya, katakan lagi, seorang muslim yang shaleh dan adil. Mari masuk ke dalam masalah.

Sebagai penguasa yang shaleh dan adil saya akan ijinkan dan menfasilitasi pria muslim yang menikah dengan perempuan non muslim (ahli kitab), dengan menfasilitasi pencatatan dan hak-hak perkawinan mereka. Bagaimana dengan perempuan muslim yang hendak menikah dengan pria ahli kitab?

Jika saya ijinkan, saya bisa dituduh sebagai orang yang tidak shaleh karena melanggar tafsir tradisional, namun jika saya tplak saya juga bisa dituduh tidak adil karena sebagai penguasa tidak boleh membuat peraturan yang membedakan warga negara karena latar belakang agama.

Manakah yang lebih penting sebagai muslim, keshalehan atau keadilan? Buat saya tema sentral Al Quran sesungguhnya berpusat pada dua hal: Perdamaian dan Keadilan. Dan tiada perdamaian tanpa keadilan.

Maka jika harus memilih dituduh tidak shaleh dengan tidak adil, saya memilih untuk tidak shaleh ketimbang harus bersikap tidak adil. Islam dengan jelas mengutuk ketidak-adilan bahwa jangan sekali-sekali kebencian pada suatu kaum membuatmu bersikap tidak adil. Dalam ajaran lain bahkan kita harus berbicara jujur dan adil meskipun itu merugikan orang tua dan keluarga kita.

Islam mengajarkan dengan jelas penghormatan luar biasa pada orang tua, khususnya ibu, tetap menolak menjadikan alasan tersebut untuk berlaku tidak adil. Keadilan, dalam Islam adalah pondasi struktur sosial yang lebih kompleks. Meninggalkan keadilan sama artinya menghancurkan tata sosial masyarakat ke dasar-dasarnya.

Dengan logika diatas, menjadi lebih mudah sesungguhnya buat kita untuk bersikap pada isu dimana ajaran agama “dibenturkan” dengan perkembangan hak konsititusional. Apapun pandangan agama yang kita anut, setiap warga negara memiliki hak yang sama terlepas dari latar belakang agama, etnis dan gender mereka.

Dalam isu LGBT khususnya orientasi homoseksual, apapun tafsir agama yang kita anut, sebagai muslim saya dituntut untuk adil terhadap orang yang memilih berbeda tafsir dengan saya.

Artinya hak-hak kaum homoseksualitas harus dilindungi dan setara dengan saya yang hetero. Setara dan adil disini tidak berhenti pada sikap tidak mendiskriminasi aktif mereka, ini saya anggap keadilan usang dan semu. Kita harus memastikan dan melindungi mereka punya hak dan akses dan perlakuan yang sama sebagai warga negara.

Jakarta, 17 Feb 2016