Kekerasan pecah di Singkil, satu orang tewas dalam serangan terhadap gereja-gereja oleh kelompok Islam. Ini tak lama setelah kekerasan antar warga kristen dan islam terjadi di Tolikara, Papua. Saya selalu teratarik melihat bagaimana media-media nasional meliput isu agama. Bagaimanakah kejadian ini diberitakan?

Kompas

Harian dengan sirkulasi nomer wahid ini hanya menurunkan satu berita di situs Kompas.com “Pembakaran Rumah Ibadah yang Diduga Tak Berizin Picu Bentrok Warga di Aceh Singkil” pada pukul 17:22. Kompas melakukan framing bahwa rumah ibadah tak berizin dibakar dalam judul. Kita lihat ke dalam artikel.

Kata pertama yang digunakan adalah “Bentrokan” yang berarti dua kelompok terlibat adu kekuatan dalam posisi relatif seimbang.

Ada dua sumber yang digunakan yaitu: Aparat Pemerintah Kabupaten Singkil dan Kepolisian. Kompas sebagai media terbesar di Indonesia sangat mengherankan tidak memiliki sumber yang lebih mendalam dalam kejadian ini.

Meski Kompas secara terang menyebutkan salah satu kelompok sebagai “penyerang” tetapi kejadian kekerasan tidak ditulis “Penyerangan” namun tetap kata “bentrokan” dipakai sebanyak 5 kali, dan 4 kali “kerusuhan” beserta satu kutipan “rusuh”.

Tempo

Media berbasis majalah yang kini juga merambah Harian Cetak, Online, TV serta Radio menurunkan dua berita di tempo.co. Pertama pukul 17:14 berjudul “Aceh Singkil Mencekam, Satu Gereja Dibakar, 2 Tewas” dengan kata pertama: keributan. Selanjutnya Tempo menggunakan 1 kata “bentrokan”, 1 “bentrok”.

Sumber Tempo juga lebih beragama yaitu Pendeta Erde Brutu dari GKPPD, denominasi kristen dominan di Singkil, serta informasi serangan terhadap pengendara truk. Tempo juga berusaha mencari informasi arah serangan. Sementara sumber dari pemerintah lokal tidak memberikan informasi pada Tempo.

Pukul 18:55 Tempo menurunkan update “Gereja di Aceh Singkil Diserang, Ini Penyebab Korban Tewas”, kali ini lebih maju dengan menggunakan kata “serang” sebagai framing pemberitaan. Kali ini Tempo gunakan 3 kata berbasis “serang” dan satu kata “bentrok”.

Tempo menjelaskan kekerasan dimulai dari desakan kelompok Islam untuk membongkar gereja-gereja, tuntutan ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan rapat sepihak yang menhasilkan keputusan untuk membongkar gereja pekan depan. Kelompok massa yang tak menerima penundaan ini kemudian melakukan serangan.

Detik

Seperti dugaan, detik menurunkan berita paling cepat. Pukul 15:43 “Bentrokan Antar Masyarakat Pecah di Aceh Singkil, Satu Rumah Ibadah Dibakar” dengan framing bentrokan antar masyarakat. Kata pertama adalah “bentrokan”, berita pendek ini hanya mengutip pernyataan Kapolri.

Detik juga dengan keliru mengambarkan rantai kekerasan. Bentrokan antar warga menyebabkan pembakaran rumah ibadah. Berbeda dengan rantai kekerasan yang dijelaskan oleh Kompas dan Tempo. Selanjutnya terdapat beberapa pemberitaan:

16:04 “Bentrok Warga di Aceh Singkil, 1 Orang Tewas Ditembak

16:50 “Ini Pemicu Bentrok Antar Kelompok di Aceh Singkil

17:24 “Bentrok Warga di Aceh Singkil, Wabup: Itu di Luar Dugaan

18:59 “Wabup Aceh Singkil Nilai Warga Salah Paham soal Rumah Ibadah tak Berizin

Selama kurun waktu 3 jam 16 menit Detik menurukan 5 berita dengan menggunakan kata berbasis bentrok 4 + 4 + 4 + 3 + 3. Delapan belas kali kata bentrok! saya hampir berhenti bernafas menghitung kata bentrok. Detik juga hanya mengutip pernyataan Kapolri dan Wakil Bupati Singkil. Sumber yang sangat jauh dari inner circle kejadian.

Detik juga tidak berupaya menggali penyebab kekerasan namun seperti biasa melakukan jurnalisme kutipan. Upaya pemberitaan paling kasar yang dapat dilakukan. Kekerasan dalam framing detik terjadi karena ketidakpuasan warga muslim atas keputusan pemda menutup gereja pekan depan.

Republika

Media online ini mengambil garis berbeda, pada pukul  18:55 menurunkan berita “Pembakaran Rumah Ibadah di Aceh, JK: Ini Kesalahpahaman” baru dikuti pada pukul 19:44 “Gereja di Aceh Singkil Dibakar Ratusan Orang”.

Masing-masing artikel memuat tiga kata “bentrokan”. Sumbernya: Wakil Presiden Jusuf Kala dan Humas Polri Kombes Pol Suharsono. Lagi-lagi sumber yang sangat jauh dari lokasi. Dalam pemilihan sumber, Republika adalah paling buruk.

Apa latar belakang kejadian?

Tidak satupun dari empat media diatas menjelaskan latar belakag kasus yang sudah terjadi sejak 1979 ketika terjadi kekerasan masif terhadap warga Kristen yang menyebabkan pengungsian warga ke Sumatera Selatan. Kekerasan tersebut diakhiri dengan perjanjian bahwa warga Kristen hanya dapat membangun 1 gereja dan 4 undung-undung, sebutan bagi gereja kecil.

Kebijakan diskriminatif ini dipertahankan hingga sekarang. Ketika jumlah umat kristen berkembang dan memiliki 20 bangunan gereja, pemerintah tetap menolak menerbitkan izin bagi bangunan tersebut. Peraturan Bersama Menteri 2006 kemudian digunakan untuk justifikasi tambahan untuk melekatkan label “ilegal” pada gereja-gereja tersebut.

Tidak ada  media yang mengkritik kebijakan itu secara material atau subtantif. Pertama bahwa kebijakan tahun 2006 tidak berlaku surut pada rumah ibadah yang dibangun sebelumnya. Terlebih pada esensi bahwa kebijakan-kebijakan ini melanggar UUD 1945.

Sejak tahun 2011 ketika saya mengamati pemberitaan Cikeusik, tidak ada perubahan berarti pada cara bermedia dalam isu agama di Indonesia.

Jakarta, 13 oktober 2015