Di satu sore saya ujug-ujug menerima pesan WhatsApp, Kominfo mengeluarkan edaran pada ISP untuk melakukan sensor terhadap 19 (kemudian menjadi 22) situs berhaluan Islam. Islam macam apa? Dua puluh dua situs ini bisa kita katakan tafsir Islam yang mengajarkan kekerasan atau setidaknya memaklumi kekerasan pada mereka yang berbeda pandangan. Yang berbeda ya sesat dan kafir, itu adalah platform bersama mereka.

Sudah lama saya gerah dengan situs-situs takfiri ini. La piye, mereka ini ada isu Ahmadiyah  bilang “aliran sesat menyesatkan”, gereja dituduh kristenisasi (sejarah Indonesia modern adalah Islamisasi), dan Syiah yang sudah ribuan tahun mereka bilang bukan Islam. Tiap hari komporin isu timur tengah. Beberapa situs bahkan khusus membahas sepak terjang perjuangan ISIS merebut wilayah Irak dan Suriah. Public Relation!

Menarik melihat pemberitaan serangan koalisi Arab terhadap pemberontak di Yaman. Mereka dengan jelas menggunakan kata Syiah Houtsi sebagai penyebutan kelompok pemberontak. Bisa disimpulkan situs-situs ini punya afiliasi ideologi yang kuat dengan ISIS, Arab Saudi dan Anti Syiah. Nah yang malu-malu mereka sebut adalah dukungan Amerika Serikat plus Israel dalam serangan koalisi Arab. Hanya kiblat.net yang memberitakan koalisi Arab Saudi - Israel - Amerika Serikat.

Saya pingin pites satu-satu situs ini. Bukan mencerahkan, malah bikin pembaca meluap-luap api kebencian. Tidak serta merta membaca akan menyebabkan tindakan kekerasan. Tapi jelas ada relasi mesra antara pelaku kekerasan dengan situs takfiri.

Tentu saya senang kalau situs ini lenyap. Jadi saya dukung edaran Kominfo tadi.

Tunggu dulu.

Masalahnya  Kominfo melakukan sensor sepihak, tanpa prosedur hukum jelas dan transparan. Hanya berbekal permintaan BNPT. Buat saya situs website layaknya buku dan koran adalah medium informasi warga. Disana ada hak-hak warga untuk memperoleh informasi yang benar dan berguna. Secara umum saya tidak setuju negara turut campur terlalu dalam atas apa yang - bisa dan tidak bisa -  dibaca, ditonton dan dinikmati oleh warga.

Mahkamah Konstitusi sudah mencabut kewenangan Kejaksaan Agung melakukan bredel atau penarikan buku. Kini mekanisme bredel masih bisa dilakukan, hanya saja harus melalui proses pengadilan.

Kasus-kasus sengketa media (TV, radio dan cetak) harus melalui mediasi atau uji etik Dewan Pers sebelum polisi menerapkan pasal pidana. Media online punya tabiat khusus, dengan adanya UU ITE sengketa media online bisa dipidanakan lewat pasal-pasal karet. Dan kekaretan UU ITE ini punya korban yang menumpuk.

Kembali lagi, saya tidak suka dengan dua puluh dua situs takfiri dan corong ISIS, dan saya percaya hidup lebih tenang tanpa mereka. Tetap, penutupan situs-situs harus memakai prosedur hukum yang jelas. Macam apa?

Pertama, situs-situs yang mengajarkan kekerasan secara langsung bisa dijerat dengan mekanisme “hate speech”, preseden ini pernah terjadi pada siaran radio yang menggerakkan konflik Rwanda. Dalam kasus terorisme ada banyak pasal bisa dimainkan oleh negara, dus bukan berarti mekanisme sidang bisa dilewati.

Kedua, situs yang memberikan fakta palsu bisa disentil lewat Dewan Pers, jika terbukti bersalah Dewan Pers bisa menjatuhkan peringatan hingga sangsi. Ini macam kasus siaran “Empat Mata” si Tukul Arwana. Situs kategori ini umumnya adalah metamorfosa tabloid-tabloid Islam era 2000’an.

Dua hal diatas harus melalui uji hukum yang jelas dan transparant. Pihak yang terancam sangsi harus memiliki kesempatan untuk membela diri dengan pantas.

Sementara situs-situs yang jualan ideologi harus dipandang sebagai musuh ideologis. Cara menghadapi ya dengan tulisan lagi. Biarkan masyarakat yang memilih ide-ide mana yang layak tumbuh berkembang di Indonesia.

Dan mengapa situs berbahaya diatas tidak bisa disensor begitu saja? Begini, manusia menurut ajaran Islam punya derajat lebih tinggi dari Malaikat. Bukan karena manusia lebih “baik” dari malaikat, tetapi karena manusia punya akal. Kemerdekaan manusia untuk memilik “baik” dan “buruk” inilah yang menjadikan ia istimewa. Memaksa manusia menjadi malaikat dengan serta-merta sejatinya merendahkan martabat manusia.

Selain itu sensor itu enggak efektif bung, ada banyak cara media ini akan kembali dengan cepat. Alih-alih membasmi peradaran media takfiri, negara bisa jadi malah memberi promosi gratis buat mereka.